JUBIRTVNEWS.com – Proses eksekusi lahan seluas 1,2 hektare di Kampung Cangehgar RT 02/02, Kelurahan/Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, sempat diwarnai ketegangan karena mendapat protes dari warga pada Rabu (22/1/2025).
Ketegangan itu bermula saat ratusan petugas gabungan diterjunkan untuk mengawal pembongkaran bangunan yang terdiri dari rumah dan warung dengan menggunakan alat berat excavator, mendapat perlawanan dari warga yang merasa dirugikan.
Informasi yang dihimpun, eksekusi ini merujuk pada Surat Pengadilan Negeri (PN) Cibadak Nomor 124/KPN.W11-U18/HK2.4/I/2025 tentang pengosongan lahan, yang berdampak pada 21 Kepala Keluarga (KK). Surat tersebut mencantumkan pemohon eksekusi bernama Yudi Iskandar dan merujuk pada tanah bersertifikat hak milik (SHM) Nomor 1887.
Pasangan suami istri Baden (60 tahun) dan Nani (55 tahun) menjadi salah satu pihak yang melayangkan protes. Mereka menilai eksekusi terhadap warungnya tidak tepat. Hal itu karena bangunan warungnya berada di atas tanah Bina Marga atau Pekerjaan Umum (PU), sehingga menurut mereka bukan bagian dari objek sengketa.
“Tidak ada surat pemberitahuan soal eksekusi, tidak ada surat pengadilan. Kalau untuk rumah saya yang berada di dalam objek memang ada pemberitahuan eksekusi, tapi warung ini tidak ada. Ini tanah PU, kalau PU yang mau bongkar ya silakan. Tapi bukan objek eksekusi yang sekarang,” ujar Baden kepada awak media di lokasi.
Baden mencoba memprotes tindakan penghancuran warungnya yang ia yakini di luar area sengketa, namun protesnya tidak mendapat tanggapan dari petugas.
“Saya sudah mencoba protes, tapi tidak ada respons. Sampai sekarang juga belum ada kejelasan mengenai kompensasi,” ujarnya.
Baden, yang telah bermukim selama 20 tahun di tanah tersebut, menjelaskan bahwa ia memiliki Surat Pelepasan Hak (SPH) dari Habib Umar sebagai dasar kepemilikan.
“Saya sudah 20 tahun tinggal di sini. Dasar saya tinggal dan bangun rumah karena ada SPH dari Habib Umar selaku pemilik SPH,” tegasnya.
Warga lain, Hasan Dinata (55 tahun), juga mengaku dirugikan oleh eksekusi tersebut. Ia menyatakan telah membeli lahan seluas 1.000 meter persegi dengan harga sekitar Rp300 juta lebih pada tahun 2007. Meskipun tidak memiliki sertifikat tanah, ia memiliki SPH yang dianggapnya sah.
“Dulu saya beli kurang lebih Rp300 juta lebih untuk 1.000 meter dari Pak Jemi Deka Kuraes Habib Umar (almarhum), lengkap dengan kuitansinya,” tutur Hasan. Ia menerangkan bahwa lahan tersebut sebelumnya merupakan bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) PT Anugrah Jaya dan kemudian dihibahkan kepada masyarakat setelah masa HGU berakhir.
Terpisah, pengacara pemohon Yudi Iskandar, Habib Ahmad Yadzi Alaydrus menjelaskan, bahwa proses eksekusi telah melalui berbagai tahapan hukum sejak September 2023. Ia mengungkapkan bahwa pendekatan persuasif telah dilakukan, tetapi menemui jalan buntu karena warga meminta ganti rugi yang dianggap terlalu tinggi.
“Kami sudah mencoba pendekatan persuasif, mendatangi warga, dan mencari solusi. Namun, warga meminta ganti rugi Rp2 juta per meter, yang tidak memungkinkan bagi pemohon,” jelasnya.
Yadzi juga menyoroti adanya indikasi mafia tanah yang menjual lahan tersebut kepada warga dengan janji sertifikasi, padahal sudah ada sertifikat atas nama Yudi Iskandar sejak tahun 2001.
“Kami mendorong warga yang menjadi korban penipuan untuk melaporkan oknum ke polisi. Kami siap membantu dengan pengacara gratis agar uang mereka bisa dikembalikan,” tambahnya.
Terkait tudingan cacat administrasi pada sertifikat Yudi Iskandar, Ahmad mengutip pernyataan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sukabumi yang menegaskan bahwa penerbitan SHM Nomor 1887 sesuai peraturan.
“Jika ada keberatan, silakan menggugat ulang sesuai hukum,” katanya.
Ia menambahkan bahwa perkara ini telah diuji di berbagai tingkat pengadilan hingga Mahkamah Agung dan Peninjauan Kembali (PK), dengan keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
“Keputusan ini sudah melalui seluruh proses hukum dan sekarang berkekuatan hukum tetap,” pungkasnya.